Mengalami Cinta yang Dewasa, Menjadi Hangat tanpa Kobar Asmara

Arts, Bilik Cerita106 Views
banner 468x60

Judul Buku : Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali
Pengarang: Adimas Immanuel
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2019
Dimensi Buku: 108 hlm; 20 cm

PKR – Kali ini Sobat PKR, Akan meresesi BUKU berjudul “Suaramu Jalan Pulang Yang Kukenali” Karya Adimas Immanuel.

banner 336x280

Bermula dari mengenali cinta merupakan proses yang tidak akan ada habisnya. Cinta yang paripurna, seringkali sangat sulit untuk ditemukan. Konsep cinta menurut, masing-masing orang tentunya berbeda, hal tersebut, bisa dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman. Dalam proses menemukan dan mengenali cinta, tentunya ada fase yang perlu dijalani yang kemudian akan membawa orang kepada konsep cinta yang pas untuk diri masing-masing.

Mengenai fase dalam mengenali cinta, sebagian besar orang telah memulainya sejak masa kanak-kanak. Kemudian konsep cinta yang dikenali semasa kanak-kanak akan bergeser maknanya saat mulai beranjak remaja. Pada masa remaja tersebut, mulai timbul cinta kepada lawan jenis. Konsep cinta yang dikenal akan lebih variatif. Barangkali juga di fase ini banyak orang yang mulai mengerti kekecewaan dan patah hati dalam hal mencinta. Kemudian tidak sedikit juga yang justru berubah sehingga timbullah pikiran buruk tentang cinta tersebut. Dan di buku Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali, Adimas Imaanuel memproyeksikan tentang cinta yang dewasa ke dalam 71 puisi di dalamnya.

Membaca puisi yang terdapat dalam buku Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali sangat terasa bagaimana Adimas Immanuel menulis puisi-puisi itu dengan cinta yang lebih tenang, dan dewasa. Tidak ada larik yang berapi-api yang membakar cinta yang sangat besar namun syarat akan keraguan dan barangkali akan mudah padam. Puisi tersebut justru terasa tidak berusaha untuk membuat kagum pembaca dengan mengumbar narasi heroik tentang cinta, ataupun sebaliknya dengan membagikan cerita nelangsa. Adimas menulis puisinya dengan jujur, tabah dan penuh pemakluman. Seolah Adimas mengerti betul bahwa dalam cinta—meminjam istilah Chairil Anwar—akan ada pihak yang tidak apa-apa, dan pihak lainnya yang terpanggang tinggal rangka.

Tentunya dengan mengenali cinta yang dewasa, manusia akan mampu memberikan pemakluman dan penyikapan yang lebih bijaksana mengenai bagaimana cinta harus tumbuh dan berkembang, serta pengetahuan tentang apa yang perlu diperjuangkan ataupun yang akan berakhir sia-sia, atau bahkan tetap melakukan apa yang telah diketahui akan sia-sia atas dasar cinta. Hal semacam itu terasa jelas dalam puisi Cinta dan Hal-Hal Percuma (hlm. 44)

Padahal sunyi itu sungai

dan rindu—patahan ranting

yang hanyut sampai ke laut

ke mana ia akan bermuara

saat itulah kau merasa sia-sia

Tapi bukankah cinta selalu

mengulang-ulang kata percuma

: kata yang bangun dan tidur

dalam dekapan sebuah nama

            Kata bermuara dalam puisi tersebut menggambarkan bagaiman pada akhirnya, bisa saja segala hal menjadi sia-sia. Namun pada larik selanjutnya, kata “percuma” diidentifikasikan sebagai kata yang bangun dan tidur. Dengan kata lain, ada saatnya kata “percuma” tidur yang menjadikan cinta mempunyai nilai besar dan patut diperjuangkan. Ada kalanya pula, kata “percuma” bangun dan menyadarkan bahwa tidak ada yang bisa ditemui di akhir selain kesia-siaan.

            Intensitas hubungan yang terjalin atas dasar cinta juga disorot dalam beberapa puisi dalam buku tersebut. Adimas seakan bercerita bahwa pribadi yang diliputi cinta juga harus bisa tumbuh dan berkembang dengan mandiri, dengan caranya masing-masing. Bahwa cinta sebaiknya tidak menjadikan manusia terlalu bergantung dengan orang lain dan menjebol ruang privat yang harusnya dimiliki semua orang. Tentu akan lebih bijaksana jika cinta diposisikan sebagai suatu hal yang bisa menjadikan orang lebih paham waktu untuk hadir dan kapan perlu memberikan jeda untuk sendiri. Puisi Di Laut Matamu (hlm 47) menggambarkan hal tersebut dengan apik, dengan baris akhir yang berisi:

Kita tak tahu apakah Tuhan

juga tinggal di pulau sesunyi ini.

Tetapi jika memang harus hidup

dikelilingi gelombang tangismu,

aku tahu: kapan harus pergi melaut,

kapan harus jadi kekasih yang penurut.

            Proyeksi mengenai cinta yang dewasa dan jauh dari kesan ambisius, ditulis Adimas ke dalam puisinya dengan bahasa yang lebih sederhana. Dalam buku Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali, Adimas menulis anak pikirannya dengan gaya bahasa yang lebih mudah dipahami. Berbeda dengan buku Di Hadapan Rahasia (2016) yang mana Adimas masih gemar menggunakan istilah yang bertempat di pojok KBBI dan jarang kita temui dalam bahasa sehari-hari. Buku Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali, syarat dengan kematangan diksi dan tak banyak bermain dengan tipografi. Namun kesederhanaan semacam itu tentunya juga menimbulkan kesan yang biasa-biasa saja. Narasi puisi pun terasa datar, dan permainan emosi tidak dieksekusi dengan baik oleh Adimas.

Sepanjang membaca buku tersebut, tak banyak puisi yang menginterupsi dan meminta pembaca untuk mengulangi pembacaan sembari merenungi puisi Adimas. Konsep kedewasaan cinta yang disuguhkan buku Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali menjadikan pembaca tidak begitu terkesima dengan cinta yang dibuat sederhana, tak tegas dan juga tak samar. Kesadaran untuk tidak menampilkan cinta yang menggebu-gebu menjadi pilihan Adimas dalam buku puisinya kali ini. Entah hal itu terjadi sebab Adimas sudah melalui fase yang penuh ambisi, atau karena Adimas takut untuk kembali terbakar dengan cinta yang terlalu berapi-api. Jelasnya, dalam buku tersebut, Adimas berhasil pulang, dengan menggunakan suara yang ia kenal sebagai jalan.

Penulis : Abi Fathe

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *